Pagi itu saya memanggil dia. Karyawan juru pungut yang sudah mengabdi 2 tahun lebih itu menjadi bagian dari proyek saya, buat pengembangan NH di tahun 2010.
Rencananya, tahun 2010 kami akan memperluas kemanfaatan dengan membuka beberapa cabang di daerah jawa timur. Melihat kinerja dan sikap tulusnya selama ini, dia kami anggap layak diberikan promosi menjadi kepala cabang di salah satu cabang yang akan kami buka.
Apalagi, hasil tes psikologi kepemimpinan yang kami lakukan satu mingguan sebelumnya menunjukkan hasil yang cukup bagus. Satu hal yang kami suka, dia termasuk orang yang sedikit bicara banyak kerja, talk less do more. Bicara efektif, kerjanya produktif. Tapi kalau sudah kadung bicara, nampak sekali kualitas intelektual dia.Keberaniannya mengikhtiarkan rizki hingga ke kota Surabaya, dari nun jauh di desa terpencil tasikmalaya, cukup menjadi ukuran semangat survivel-nya.
Saya pikir, ini adalah kado awal tahun yang bagus buat dia. Saya menyalami dia. Dengan berbagai prolog bermotif mulia, saya katakan kepadanya bahwa mulai awal tahun besok dia akan menempati posisi kepala cabang.
“Sebelumnya, saya sangat berterima kasih mendapatkan kesempatan ini, Mas”, katanya dengan senyum yang sedikit ditahan. Saya menyambutnya dengan mengucap “Alhamdulilah”.
“Tapi saya berada dalam dua pilihan yang berat Mas.” sambungnya. Sampai disini saya pikir sepertinya dia mengalami penurunan kepercayaan diri. Berpindah posisi dari tipe kerja individual-teknis menjadi tipe kerja leadership bukanlah perkara mudah.
Ketidakpercayaan diri memang terkadang muncul. Sehingga walaupun itu sebuah kenaikan jabatan, sangat mungkin mendapat interupsi keberatan. Apalagi sudah mafhum bagi kami bahwa kepemimpinan adalah amanat. Maka biasanya serbuan kata-kata pengingat lebih besar porsinya daripada ucapan selamat.
Saya berusaha sopan untuk tidak memutus pembicaraannya. Walaupun di kepala sudah tidak tahan untuk memotivasi dan menumbuhkan kepercayaan dirinya. Dia diam, seperti berusaha mencerna emosi saya. Pandangan kami beradu, nampak ada yang ingin diungkapkan meski masih berat. Hingga jeda itu, saya tak pernah berpikir dia akan memberikan keputusan lebih dari apa yang saya sangka.
“Sebenarnya sejak usai lebaran kemarin saya berniat mau ketemu mas Heri, saya mau ijin resign mas.” katanya.
Saya menelan ludah. Kaget, tak percaya. Hampir saya menghiba. Lho kok jadi begini, saya membatin. Dengan terbata-bata, dia berusaha memilih kata dan menggunakan bahasa paling enak untuk saya yang dilihatnya masih shock dan kaget. Dia menceritakan, di desa, ayahnya saat ini sudah menginjak usia tua. Sering sakit-sakitan.
Orang tua sakit-sakitan,tapi ada saudara lain yang merawat, menurut saya harus diperhitungkan masak-masak kalau sampai memutus sumber mata pencaharian. Toh, dengan bekerja kita justru membantu ekonomi orang tua. Toh, tak ada larangan hari libur atau mengambil cuti untuk mengunjungi orang tua.
Namun tak semudah itu. Persoalannya ayahnya tak hanya sakit fisik. Tapi sakit ruhani. Parah sekali. Sang ayah hingga usia senjanya masih dalam keadaan murtad (keluar dari islam). Sejak usia SMP, sang ayah adalah penganut setia ilmu kejawen sampai pada taraf terang-terangan menyatakan tidak ada Allah. Na’udzubillah..
“Sebelum Allah benar-benar memanggil beliau, saya harus membuat beliau kembali Islam” katanya dengan suara tercekat. Matanya berlinang.
Saya memalingkan muka, tidak bisa untuk tidak menangis. Saya terbawa ke dalam suasana hati saudara kami ini. Orang yang berjasa besar dalam hidupnya, orang yang sangat ia cintai dan mencintai dia, orang yang wajahnya selalu hadir setiap ia mengucap doa “rabbighfirlii waliwalidayya” kini berada dalam ancaman kemurkaan besar nan kekal di akhirat kelak.
Beberapa jeda kami tak bisa berkata-kata. Sama-sama diam. Sama-sama sibuk menyembunyikan air mata.
“Maafkan saya Mas Heri, menurut saya ini saatnya bagi saya menunjukkan pengorbanan seorang anak”.
Saya memeluknya. Air mata mengalir dari mata saja, mengairi bahunya. Seraya mendo’akan dan mengagumi kejernihan hatinya dalam mengambil pilihan hidup.
Sempat saya bertanya tentang pekerjaan selanjutnya. Dia menuturkan akan menjalankan lagi layanan pengobatan bekam dan herbal. Pekerjaan itu membuat dia lebih fleksibel. Sebuah pekerjaan yang menurut saya hasilnya tak seberapa.
Saudaraku, mungkin beban kita sebagai anak terhadap amanah orang tua tak seberat teman saya itu. Orang tua kita sudah Islam. Namun justru, bobot amanah yang ringan itu kadang membuat kita meletakkan pengabdian kepada orang tua dalam urusan remeh temeh dan malah menyia-nyiakan.
Kita barangkali tak terlalu yakin apakah kita sanggup mengambil pilihan berat seperti teman saya itu, bila keadaan itu menimpa kita. Siapa yang tak ingin mengabdi para orang tuanya? Siapa pula yang tak ingin mendapatkan pekerjaan dan posisi mapan?.
Kita yang selama ini terlalu manja di buai angan-angan, harus bertanya, sanggupkah kita menukar impian-impian hidup dengan pengabdian pada orang tua?
Tapi saya sangat sadar, ini bukan urusan kesanggupan diri kita semata. Ini adalah urusan hidayah, urusan rahmat Allah. Dan teman saya itu, barangkali tak bisa ikut dalam proyek pengembangan saya, semoga dikarenakan Allah sedang memilihkan proyek yang lebih besar untuknya. Allah memilih di antara hamba-hamba-Nya untuk dibimbing ke dalam Surga-Nya. Amiiin..
Apalagi, hasil tes psikologi kepemimpinan yang kami lakukan satu mingguan sebelumnya menunjukkan hasil yang cukup bagus. Satu hal yang kami suka, dia termasuk orang yang sedikit bicara banyak kerja, talk less do more. Bicara efektif, kerjanya produktif. Tapi kalau sudah kadung bicara, nampak sekali kualitas intelektual dia.Keberaniannya mengikhtiarkan rizki hingga ke kota Surabaya, dari nun jauh di desa terpencil tasikmalaya, cukup menjadi ukuran semangat survivel-nya.
Saya pikir, ini adalah kado awal tahun yang bagus buat dia. Saya menyalami dia. Dengan berbagai prolog bermotif mulia, saya katakan kepadanya bahwa mulai awal tahun besok dia akan menempati posisi kepala cabang.
“Sebelumnya, saya sangat berterima kasih mendapatkan kesempatan ini, Mas”, katanya dengan senyum yang sedikit ditahan. Saya menyambutnya dengan mengucap “Alhamdulilah”.
“Tapi saya berada dalam dua pilihan yang berat Mas.” sambungnya. Sampai disini saya pikir sepertinya dia mengalami penurunan kepercayaan diri. Berpindah posisi dari tipe kerja individual-teknis menjadi tipe kerja leadership bukanlah perkara mudah.
Ketidakpercayaan diri memang terkadang muncul. Sehingga walaupun itu sebuah kenaikan jabatan, sangat mungkin mendapat interupsi keberatan. Apalagi sudah mafhum bagi kami bahwa kepemimpinan adalah amanat. Maka biasanya serbuan kata-kata pengingat lebih besar porsinya daripada ucapan selamat.
Saya berusaha sopan untuk tidak memutus pembicaraannya. Walaupun di kepala sudah tidak tahan untuk memotivasi dan menumbuhkan kepercayaan dirinya. Dia diam, seperti berusaha mencerna emosi saya. Pandangan kami beradu, nampak ada yang ingin diungkapkan meski masih berat. Hingga jeda itu, saya tak pernah berpikir dia akan memberikan keputusan lebih dari apa yang saya sangka.
“Sebenarnya sejak usai lebaran kemarin saya berniat mau ketemu mas Heri, saya mau ijin resign mas.” katanya.
Saya menelan ludah. Kaget, tak percaya. Hampir saya menghiba. Lho kok jadi begini, saya membatin. Dengan terbata-bata, dia berusaha memilih kata dan menggunakan bahasa paling enak untuk saya yang dilihatnya masih shock dan kaget. Dia menceritakan, di desa, ayahnya saat ini sudah menginjak usia tua. Sering sakit-sakitan.
Orang tua sakit-sakitan,tapi ada saudara lain yang merawat, menurut saya harus diperhitungkan masak-masak kalau sampai memutus sumber mata pencaharian. Toh, dengan bekerja kita justru membantu ekonomi orang tua. Toh, tak ada larangan hari libur atau mengambil cuti untuk mengunjungi orang tua.
Namun tak semudah itu. Persoalannya ayahnya tak hanya sakit fisik. Tapi sakit ruhani. Parah sekali. Sang ayah hingga usia senjanya masih dalam keadaan murtad (keluar dari islam). Sejak usia SMP, sang ayah adalah penganut setia ilmu kejawen sampai pada taraf terang-terangan menyatakan tidak ada Allah. Na’udzubillah..
“Sebelum Allah benar-benar memanggil beliau, saya harus membuat beliau kembali Islam” katanya dengan suara tercekat. Matanya berlinang.
Saya memalingkan muka, tidak bisa untuk tidak menangis. Saya terbawa ke dalam suasana hati saudara kami ini. Orang yang berjasa besar dalam hidupnya, orang yang sangat ia cintai dan mencintai dia, orang yang wajahnya selalu hadir setiap ia mengucap doa “rabbighfirlii waliwalidayya” kini berada dalam ancaman kemurkaan besar nan kekal di akhirat kelak.
Beberapa jeda kami tak bisa berkata-kata. Sama-sama diam. Sama-sama sibuk menyembunyikan air mata.
“Maafkan saya Mas Heri, menurut saya ini saatnya bagi saya menunjukkan pengorbanan seorang anak”.
Saya memeluknya. Air mata mengalir dari mata saja, mengairi bahunya. Seraya mendo’akan dan mengagumi kejernihan hatinya dalam mengambil pilihan hidup.
Sempat saya bertanya tentang pekerjaan selanjutnya. Dia menuturkan akan menjalankan lagi layanan pengobatan bekam dan herbal. Pekerjaan itu membuat dia lebih fleksibel. Sebuah pekerjaan yang menurut saya hasilnya tak seberapa.
Saudaraku, mungkin beban kita sebagai anak terhadap amanah orang tua tak seberat teman saya itu. Orang tua kita sudah Islam. Namun justru, bobot amanah yang ringan itu kadang membuat kita meletakkan pengabdian kepada orang tua dalam urusan remeh temeh dan malah menyia-nyiakan.
Kita barangkali tak terlalu yakin apakah kita sanggup mengambil pilihan berat seperti teman saya itu, bila keadaan itu menimpa kita. Siapa yang tak ingin mengabdi para orang tuanya? Siapa pula yang tak ingin mendapatkan pekerjaan dan posisi mapan?.
Kita yang selama ini terlalu manja di buai angan-angan, harus bertanya, sanggupkah kita menukar impian-impian hidup dengan pengabdian pada orang tua?
Tapi saya sangat sadar, ini bukan urusan kesanggupan diri kita semata. Ini adalah urusan hidayah, urusan rahmat Allah. Dan teman saya itu, barangkali tak bisa ikut dalam proyek pengembangan saya, semoga dikarenakan Allah sedang memilihkan proyek yang lebih besar untuknya. Allah memilih di antara hamba-hamba-Nya untuk dibimbing ke dalam Surga-Nya. Amiiin..
*Kepada rekan kami mas Haris, selamat jalan, semoga Allah memberikan kemudahan terhadap urusannya..
(www.nurulhayat.org)


0 komentar:
Posting Komentar